Rupiah Merosot Saat Pasar Menanti Kepastian Suku Bunga AS dan Eropa
Nilai tukar rupiah berpotensi melemah karena dipicu ekspektasi penurunan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed hingga data ketenegakerjaan AS periode Mei 2024.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka melemah pada posisi Rp 16.287 per dolar AS pada Kamis (6/6). Pelemahan ini melanjutkan penutupan perdagangan Rabu sore di level Rp 16.280 per dolar AS.
Analis Mata Uang Lukman Leong memperkirakan, potensi pelemahan rupiah secara terbatas pada hari ini. Dia memperkirakan rupiah pada posisi Rp 16.250 - Rp 16.350 per dolar AS.
"Pelemahan rupiah didukung oleh data pekerjaan ADP AS yang lebih lemah namun tertekan oleh data ISM service yg sangat kuat," kata Lukmana kepada Katadata.co.id, Kamis (6/6).
Institute of Supply Management (ISM) merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai indikator kondisi ekonomi keseluruhan untuk sektor non-manufaktur. Sementara ADP merupakan laporan tenaga kerja AS di sektor swasta non pertanian.
Selain itu, investor masih terus menunggu dan memantau kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh Bank Sentral Eropa (ECB) yang berpotensi meningkatkan sentimen pasar.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana juga melihat peluang pelemahan rupiah ke Rp 16.245 - Rp 16.366 per dolar AS karena peningkatan Index DYX. Index ini menjadi indikator untuk mengukur kekuatan dolar AS terhadap mata uang utama.
"Hal ini seiring dengan rilis PMI service dan global PMI AS yang membaik. Namun disaat yang sama, data tenaga kerja ADP yang turun," kata Fikri.
Kemudian didorong oleh hasil lelang Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) yang mencatatkan nilai Rp 16.300 per dolar AS untuk tenor satu bulan dan 3 bulan. Biasanya, DNDF menjadi acuan proyeksi rupiah ke depan.
Senada dengan keduanya, Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra juga memprediksi pelemahan rupiah karena keraguan pasar terhadap kemungkinan pemangkasan suku bunga acuan AS.
"Karena komentar petinggi the Fed dan notulen rapat moneter AS yang terakhir masih membuka peluang kenaikan suku bunga acuan AS," kata Ariston.
Selain itu, ketidakpastian ekonomi global karena konflik yang masih terjadi di Timur Tengah dan Ukraina juga membantu penguatan dolar AS sebagai salah satu aset aman.