Deretan Kritik Faisal Basri ke Jokowi, dari Masalah Utang hingga Tarif PPN 12%

Rahayu Subekti
5 September 2024, 17:25
Faisal Basri
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Ekonom Senior Indef Faisal Basri saat diskusi Kedai Kopi OTW 2024 "Nyawa Demokrasi di Tangan Jokowi" di Jakarta, Selasa (15/8). Sebelumnya ia menaggapi data hilirisasi yang disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) senilai Rp 510 triliun yang dianggap Faisal Basri sebagai data yang salah dan 'menyesatkan'. Bahkan, Faisal Basri menilai pajak dan penerimaan negara lebih kecil tatkala melarang ekspor bijih nikel hingga kontribusi pengolahan terhadap PDB justru menurun.
Button AI Summarize

Ekonom senior Faisal Basri meninggal dunia pada hari ini dalam usia 65 tahun. Dia menjadi salah seorang ekonom yang berani menyampaikan kritik tajam terhadap sejumlah kebijakan pemerintah selama 10 tahun masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Faisal Basri adalah sosok yang tegas dan berani dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam ekonomi dan politik Indonesia,” kata ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini dalam pernyataan resminya, Senin (5/9).

Sebagai ekonom, Faisal sudah menyampaikan banyak kritikan mulai dari utang negara, hilirisasi, pembangunan kereta cepat Whoosh, Ibu Kota Negara (IKN) hingga persoalan pajak yang akan menjadi kebijakan baru pada era pemerintahan mendatang.

Warisan Utang Hambat Ekonomi RI

Faisal belum lama ini menyuarakan kritikannya melalui kanal YouTube Indef pada Agustus 2024. Dalam kesempatan tersebut, Faisal menyebut era pemerintahan Jokowi membuat utang bertambah semakin tinggi sejak 2014.

“(Utang pemerintah) 3,3 kali lipat ini terdahsyat setelah krisis,” kata Faisal dalam diskusi Indef berjudul Peninggalan Utang Menanti Pemerintahan Baru, Rabu (28/8).

Faisal menyebut Jokowi memiliki cita-cita pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7% justru dengan utang. Faisal menegaskan, pembangunan ugal-ugalan era Jokowi harus dihentikan.

“Karena ini sudah diwujudkan dalam bentuk infrastruktur dan sebagainya tapi kok pertumbuhannya anteng-anteng saja di 5%,” ujar Faisal.

Risiko Kenaikan PPN 12%

Masih dalam kesempatan yang sama, Faisal juga menyinggung soal risiko rencana pemerintah yang akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 2025. Dia mengingatkan kebijakan tersebut berisiko karena tidak sesuai dengan peran negara.

“Tugas negara itu hadir bukan untuk membela yang kaya, bukan untuk memberikan berbagai fasilitas kepada yang kaya,” kata Faisal.

Menurut faisal, sistem pajak seharusnya menjadi sarana untuk mendistribusikan kekayaan di antara masyarakat. Untuk itu, sistem tersebut seharusnya digunakan untuk mengambil sebagian harta dari orang kaya dan membagikannya kepada masyarakat.

Faisal juga sempat meminta agar pemerintah bisa membatalkan kebijakan kenaikan PPN menjadi 12%. Menurutnya kebijakan tersebut bisa membebani masyarakat di tengah kondisi ekonomi saat ini. "Kalau menurut saya wajiblah ditunda," kata Faisal di Gedung DPR, Rabu (5/9).

Bagi-bagi Izin Tambang Merusak Tatanan

Dalam diskusi Indef pada 19 Agustus 2024, Faisal juga mengkritik pengangkatan Bahlil Lahadalia pada era pemerintahan Jokowi menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Faisal menilai langkah tersebut hanya untuk membuka kesempatan lebih lebar lagi untuk membagi-bagi izin tambang.

“Ini kan memperlancar proses penguasaan tambang, termasuk bagi-baginya nanti ke siapa saja. Kan ormasnya tidak terbatas Muhammadiyah dan NU, lain-lain juga antre,” ujar Faisal dalam diskusi Indef bertajuk Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa, Senin (19/8).

Faisal mengatakan pembagian izin tambang tersebut dikhawatirkan tidak melalui lelang. Dengan adanya Bahlil di Kementerian ESDM, menurut Faisal hanya untuk mempermudah penunjukan izin tambang sehingga merusak tatanan yang sudah ada.

“Ini jadi bagian dari rusaknya tatanan ini. Tatanannya dirusak, kemudian diperlukan sosok-sosok yang pokrol bambu gitu,” kata Faisal.

Pembangunan Kereta Cepat Whoosh Bebani Negara

Faisal juga mengkritik salah satu proyek besar pada pemerintah Jokowi yaitu kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh. Dia menilai, proyek tersebut meninggalkan beban yang cukup besar khususnya bagi PT Wijaya Karya Tbk (Persero) atau WIKA.

WIKA kini harus mengalami kerugian sepanjang 2013 yang disebabkan dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia atau PSBI. PSBI merupakan anak usaha dari PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang memiliki saham mayoritas Whoosh sebanyak 60%. WIKA juga menjadi salah satu pemegang saham PSBI dengan kepemilikan 38% saham.

Faisal menyoroti nasib WIKA yang harus menanggung beban dan itu juga bisa diderita oleh BUMN lain. “Kalau semua model kayak begini, farma-farma (BUMN Farmasi) sakit, semua BUMN karya sakit, dibebani melampaui kemampuannya,” kata Faisal dalam diskusi publik Indef, Selasa (16/7). 

Terlebih, proyek Whoosh baru akan balik modal dalam 139 tahun atau satu abad. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dipastikan tidak akan memberikan keuntungan dalam waktu cepat.

"Dengan investasi Rp 114 triliun, saya simulasikan kalau seat cuma 50%, trip cuma 30 kali sehari, dan harga tiket diturunkan jadi Rp 250 ribu maka balik modalnya 139 tahun. Ini tidak memperhitungkan biaya operasi," ujar Faisal Faisal dalam diskusi publik Universitas Paramadina berjudul Dampak Investasi Cina di Indonesia 2023.

Hilirisasi Nikel Kontra Produktif Bagi RI

Faisal juga melayangkan kritik kepada pemerintah terkait program hilirisasi nikel. Ia berargumen bahwa larangan ekspor bijih nikel justru kontra produktif bagi keuntungan nasional.

Terkait hal tersebut, Faisal bahkan berencana mengadakan debat dengan Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto pada 17 Agustus 2023.

“Rp 500 triliun itu yang menikmati kita? Buktinya nilai tukar rupiah melorot terus. Jadi, ini sesuatu yang harus kita koreksi pada ulang tahun kemerdekaan kali ini," kata Faisal dalam diskusi Kedai Kopi OTW 2024 "Nyawa Demokrasi di Tangan Jokowi" di Jakarta, 15 Agustus 2023.

Dia menilai larangan ekspor tersebut justru bakal muncul barang pengganti nikel dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. Bahkan, kini telah ada produk substitusi baterai lithium-ion yang menggunakan nikel, yakni baterai sodium-ion.

Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...