Untung Rugi Pembentukan Badan Penerimaan Negara, Apa Efektif Kerek Pajak?
Wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) kembali berembus. Kali ini keluar dari pernyataan Ketua Dewan Penasehat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Hashim Djojohadikusumo.
Saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kadin Indonesia 2024 di Jakarta, Minggu (1/12), adik Presiden Prabowo Subianto itu menuturkan bahwa tugas kementerian penerimaan negara untuk memperbaiki penerimaan negara, termasuk sistem perpajakan, cukai, hingga kebocoran anggaran.
Dia juga menyebut Anggito Abimanyu yang akan ditunjuk oleh Prabowo menjadi Menteri Penerimaan Negara. Saat ini, Anggito menjadi salah satu Wakil Menteri Keuangan dalam Kabinet Merah Putih.
Namun pemerintah baru-baru ini menegaskan bahwa pembentukan badan penerimaan negara belum dibahas oleh Kabinet Merah Putih. Sampai saat ini, penerimaan negara masih dikelola oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Walau masih sekadar wacana, tapi rencana pembentukan badan penerimaan negara ini menuai pro kontra. Sejumlah pengamat dan ekonom menilai pendirian badan baru ini seperti dua mata pisau, karena bisa menguntungkan bahkan merugikan negara.
Butuh Waktu Lama dan Ongkos yang Besar
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyoroti kegagalan negara lain yang membentuk badan serupa karena fokus mengejar target penerimaan pajak yang terlalu tinggi. Hal ini berdasarkan studi Junquera-varela (2019) dari Bank Dunia.
"Kalau kita melihat praktik di berbagai negara dan studi ilmiah sebelumnya, dapat kita ketahui bahwa pembentukan BPN bukanlah sebagai silver bullet untuk meningkatkan penerimaan perpajakan," kata Fajry kepada Katadata.co.id, Senin (2/12).
Silver bullet adalah solusi yang sederhana, cepat dan efektif untuk mengatasi masalah yang kompleks atau sulit.
Ada banyak hal yang dilakukan secara paralel agar pembentukan badan ini bisa berhasil dengan tetap menjaga disiplin fiskal (target penerimaan pajaknya tetap rasional), ada kepercayaan yang kuat terhadap pemerintah.
Selain itu, perlu ada investasi pada infrastruktur dan teknologi informasi (modernisasi administrasi), melembagakan sebuah organisasi berdasarkan standar etika dan profesional yang tinggi, perubahan proses bisnis, mencegah praktik clientelism antara penguasa dengan kelompok masyarakat (klien).
Dia bahkan khawatir bahwa pembentukan BPN akan menyerap banyak sumber daya, yang kemudian akan menghambat reformasi administrasi yang sedang berlangsung seperti core tax system.
Biaya atau ongkos pembentukan badan ini juga disorot karena ada ego sektoral dari Kemenkeu dan lembaga penerimaan negara. Padahal, koordinasi yang erat di bawah payung otoritas yang sama antara lembaga pembuat kebijakan dan lembaga pemungut penerimaan, bisa membuat kebijakan fiskal menjadi optimal.
Pembentukan BPN juga tidak singkat. Berdasarkan praktik di berbagai negara, dibutuhkan waktu setidaknya 12-18 bulan hingga lebih. Pembentukan di Indonesia bakal memakan lebih lama sampai bisa beroperasi secara efektif.
"Apalagi kalau kita bicara proses legislasi di Indonesia, perlu waktu yang tak singkat," ujarnya.
Fungsi Koordinasi dengan Kemenkau Bakal Sulit
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, keberadaan badan baru ini akan membuat koordinasi dengan Kemenkeu makin sulit dan menurun.
"Kementerian Penerimaan Negara apakah akan di bawah Kemenkeu atau di Kemenko Perekonomian. Fungsi koordinasi akan cukup sulit," kata Nailul.
Maka, hadirnya kementerian baru ini tidak akan banyak membantu dalam mengerek penerimaan negara. Karena kebijakan ini tidak esensial dalam meningkatkan penerimaan negara. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Bea Cukai.
Menurut Nailul, pembentukan kementerian baru yang langsung di bawah presiden atau Kemenko Perekonomian justru akan menguatkan oknum-oknum yang bermain di DJP dan Bea Cukai.
"Kekhawatiran saya berdasarkan pada kasus yang baru-baru ini terjadi di mana internal mereka masih sangat keropos. Pembentukan kementerian ini tanpa dibenahi terlebih dahulu internalnya hanya akan memperkeruh kabinet," ujarnya.
Kebijakan Baru Selalu Menuai Pro Kontra
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono menilai setiap perumusan kebijakan publik akan ada pihak yang pro kontra.
Biasanya, pihak pro berpandangan bahwa pembentukan badan ini akan efektif meningkatkan penerimaan karena dapat lebih fokus pada intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak. Karena tugas utamanya lebih fokus pada sisi penerimaan APBN, yang diharapkan dapat sesuai target.
Selain itu, banyak terobosan kebijakan pajak sudah dilakukan selama 10 terakhir, tapi rasio pajak tidak kunjung meningkat. Terobosan kebijakan tersebut di antaranya adalah program amnesti pajak (dua kali), sunset policy, reformasi hukum pajak 2007-2009, reformasi birokrasi kelembagaan otoritas pajak, dan Automatic Exchange of Information (AEoI).
Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Prianto, sangat wajar jika terobosan reformasi kelembagaan menjadi pilihan rasional. Ditambah lagi, pemerintah sudah pernah dibantu oleh Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG) melakukan kajian kelembagaan. Hasil kajian tersebut telah tertuang di RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) 2016.
"Intinya, pemerintah perlu membentuk badan penerimaan negara yang terpisah dari Kemenkeu. Akan tetapi, keputusan politisnya adalah rencana tersebut tinggal rencana karena DJP tetap menjadi bagian dari Kemenkeu," ujar Prianto.
Sementara pihak yang kontra akan melihat bahwa kelembagaan yang ada sekarang sudah cukup memadai. Perumusan kebijakan fiskal di APBN harus disatukan agar kordinasinya lebih mudah. Kebijakan di sisi pengeluaran akan sangat tergantung pada kebijakan di sisi penerimaan.
Jika kebijakan tersebut dipisahkan melalui kelembagaan yang terpisah, pekerjaan kordinasi akan lebih sulit. Dengan demikian, pihak yang kontra akan melihat bahwa pembentukan badan ini tidak akan efektif karena memunculkan masalah lai.
Selain itu, pembentukan badan ini harus didahului dengan kajian dan penyusunan naskah akademik sebagai landasan penyusunan UU baru atau merevisi UU yang ada dengan pendekatan omnibus law. Perubahan norma hukum di tingkat UU tidak hanya mencakup ketentuan di bidang perpajakan, tapi juga hukum administrasi lain.
"Berdasarkan dua sudut pandang itu, pilihan paling rasional akan sangat tergantung pada perspektif para pembuat kebijakan. Tidak akan ada kebijakan yang sempurna sehingga muncul istilah second best theory," ujarnya.