Nilai tukar rupiah dibuka melemah 14 poin ke level Rp 14.460 per dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot pagi ini. Rupiah melemah seiring kembali menguatnya sentimen kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah melanjutkan pelemahan ke Rp 14.465 pada Pukul 09.20 WIB. Ini semakin jauh dari posisi penutupan kemarin di Rp 14.446 per dolar AS.
Mayoritas mata uang Asia lainnya melemah terhadap dolar AS pagi ini. Yen Jepang amblas 0,58%, dolar Taiwan 0,46%, yuan Cina 0,24%, ringgit Malaysia 0,22%, won Korea Selatan 0,2%, dolar Singapura 0,19%, baht Thailand 0,13%, peso Filipina 0,1% dan dolar Hong Kong 0,01%.
Sedangkan rupee India stagnan.
Analis DCFX Lukman Leong memperkirakan rupiah kembali tertekan. Hal ini karena imbal hasil atau yield obligasi AS 10 tahun naik lagi menjadi di atas 3%.
Ia memprediksi, rupiah bergerak di rentang Rp 14.425 - Rp 14.525 per dolar AS. "Pasar mengantisipasi data inflasi AS Jumat ini yang diperkirakan kembali naik," kata Lukman kepada Katadata.co.id, Selasa (7/6).
Biro Statistik Ketenagakerjaan AS dijadwalkan merilis data inflasi Mei pada Jumat (10/6). Inflasi di Negeri Paman Sam 8,3% pada April, hanya turun tipis dari bulan sebelumnya 8,5%.
Angka inflasi itu pun masih mendekati level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Meski dibayangi sentimen negatif, Lukman menilai bahwa rilis data cadangan devisa Indonesia berpotensi mendongkrak rupiah. Sebab, cadangan devisa diperkirakan naik US$ 2 miliar pada Mei.
Jika perkirakan tersebut tidak meleset, ini merupakan perbaikan setelah dua bulan beruntun turun.
Senada dengan Lukman, analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah melemah ke kisaran Rp 14.500 per dolar AS. Ini dengan potensi support di kisaran RP 14.440 per dolar AS.
Pelemahan dipengaruhi oleh menguatnya sentimen The Fed jelang rapat FOMC pekan depan.
"Bank Sentral AS kelihatannya akan menaikan suku bunga acuan lagi pada pertengahan bulan ini sebesar 50 basis poin. Ini untuk memerangi inflasi di AS," kata Ariston.
Kekhawatiran terhadap kenaikan bunga yang agresif itu juga dipengaruhi oleh kembali meningkatnya kekhawatiran terhadap inflasi global. Harga minyak mentah dunia kembali naik, karena sanksi larangan ekspor minyak mentah Rusia ke Eropa.
Selain itu, perang yang belum usai menambah kekhawatiran pasar terhadap kenaikan inflasi.
Perseteruan Rusia dengan NATO juga kian memanas. Ini karena NATO terus mengirimkan bantuan senjata rudal jarak jauh untuk Ukraina.
Tingginya inflasi bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi global termasuk Indonesia.