Dua Tangan Grab untuk Kuasai Bisnis Fintech di Indonesia

Desy Setyowati
11 November 2020, 14:30
Telaah - Fintech
rawpixel/123rf

Head of Corporate Communication OVO Harumi Supit mengatakan, perusahaan berfokus pada kolaborasi, seperti dengan pemerintah dan industri lain untuk meningkatkan penggunaan (usecase). Salah satu bentuk kerja samanya yakni menjadi mitra resmi penyalurkan insentif Kartu Prakerja.

Selain itu, mendukung Perusahaan Listrik Negara (PLN) mendistribusikan pencairan subsidi tagihan listrik. Juga menerapkan standar kode QR standar atau QRIS. "Kami juga meningkatkan kualitas layanan dan produk," ujar Harumi kepada Katadata.co.id, Selasa (10/11).

Layanan OVO tersedia di 373 kota dan kabupaten. Selain itu, menggaet 700 ribu mitra penjual (merchant) baik korporasi maupun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Selama pandemi virus corona, perusahaan mencatat kenaikan transaksi pada beberapa layanan. Pembayaran e-commerce misalnya, naik 110%. Lalu, jasa pengiriman makanan naik 15% lebih dan pencarian dana pinjaman hampir 50%. Jumlah penggunanya juga tumbuh 276%.

Meski data BI menunjukkan OVO menguasai pasar uang elektronik di Tanah Air, iPrice dan App Annie mencatat bahwa GoPay menempati peringkat teratas dari sisi jumlah pengguna pada kuartal II. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:
                                  

Di satu sisi, raksasa e-commerce asal Tiongkok, Alibaba dikabarkan dalam pembicaraan dengan Grab terkait investasi US$ 3 miliar atau sekitar Rp 44,5 triliun. Jika hal ini terjadi, potensi OVO dan DANA merger dinilai semakin besar.

Sebab, anak usaha Alibaba yakni Ant Group berinvestasi di DANA. “Lebih banyak pembicaraan seperti itu (merger), mungkin menyusul (di tengah diskusi Alibaba dan Grab),” demikian kata Pendiri perusahaan venture builder berbasis di Singapura, Momentum Works Li Jianggan, dikutip dari ChannelNewsAsia, September lalu (23/9).

Namun OVO dan DANA enggan berkomentar mengenai potensi merger yang meningkat, jika Alibaba menyuntikkan dana ke Grab.

DANA memiliki 40 juta pengguna per Juni lalu. Selama pandemi virus corona, fintech ini mengembangkan 22 lebih layanan baru sehingga transaksinya meningkat 50% sejak awal tahun hingga Mei.

Fitur itu di antaranya portal siaga Covid-19, konsultasi kesehatan secara digital dengan menggaet YesDo hingga home shopping and nearby. Yang terbaru, perusahaan mengaet Parkee dan Pluang untuk menyediakan layanan pembayaran parkir dan investasi emas.

Sedangkan Grab dikabarkan dalam pembicaraan dengan investor untuk mendapatkan investasi US$ 300 juta hingga US$ 500 juta (Rp 4,4 triliun-Rp 7,4 triliun). Dana segar ini disebut-sebut untuk memperkuat bisnis keuangannya atau Grab Financial.

Sumber Reuters yang menolak diidentifikasi sebagai calon investor yang belum dipublikasikan, mengungkapkan bahwa Prudential Plc dan AIA Group Ltd terlibat dalam pendanaan tersebut. “Perusahaan asuransi kemungkinan akan berkontribusi setengah dari target,” demikian kata sumber, dikutip dari Reuters, September lalu (8/9).

Salah satu eksekutif yang mengetahui persoalan tersebut mengatakan, Grab Financial ingin memperkuat merek, sehingga bisa beroperasi secara mandiri. “Tidak jelas apakah dana US$ 300 juta akan berasal dari investasi luar, suntikan tunai dari Grab atau campuran keduanya,” demikian dikutip dari FinanceAsia, pada Maret lalu (17/3).

Grab Financial Group didirikan pada Maret 2018. Unit bisnis ini berfokus mengembangkan tiga layanan yakni pembayaran, perlindungan, dan pinjaman.

Sebelumnya, Head of Financial Services Grab Ankur Mehrotra menyebutkan bahwa peluang pasar bisnis keuangan ini 20 kali lebih besar dibanding layanan berbagi tumpangan (ride-hailing). Sebab, ada sekitar 300 juta orang yang tidak memiliki rekening bank di wilayah cakupan Grab, yakni Asia Tenggara.

Google, Temasek, dan Bain dalam laporan bertajuk e-Conomy SEA 2020 memperkirakan, nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara mencapai US$ 105 miliar atau sekitar Rp 1.475 triliun pada tahun ini. Sebanyak US$ 44 miliar atau Rp 619 triliun di antaranya disumbang oleh Indonesia.

Perkiraan GMV ekonomi digital per sektor di Asia Tenggara
Perkiraan GMV ekonomi digital per sektor di Asia Tenggara (Google, Temasek, Bain and Company)

Pada 2025, nilai ekonomi digital di regional diprediksi tumbuh 24% menjadi US$ 309 miliar. Sedangkan Indonesia diramal meningkat 23% menjadi US$ 124 miliar. Angka ini menurun dibandingkan proyeksi 2019 yang mencapai US$ 133 miliar.

Untuk sektor keuangan seperti fintech, transaksinya diprediksi tumbuh pada semua jenis layanan. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel di bawah in:

LayananKenaikan yoyGMV 2020 US$/miliarKenaikan dibanding 2020GMV 2025 US$/miliar
Pembayaran3 %62015 %1.200
Remitansi43 %1518 %35
Asuransi30 %231 %7,6
Pinjaman0 %2332 %92
Investasi116 %2132%84

Sumber: laporan Google, Temasek dan Bain and Company bertajuk e-Conomy 2020

Google, Temasek, dan Bain and Company mencatat, UMKM dan konsumen mulai mengadopsi layanan keuangan digital. “Perubahan perilaku akan berlanjut. Adopsi dan penetrasinya diprediksi meningkat,” demikian dikutip.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...