AS, Eropa, Tiongkok Siapkan Regulasi Batasi Kekuatan Raksasa Teknologi

Desy Setyowati
17 Desember 2020, 14:05
AS, Eropa, Tiongkok Siap Kekang ‘Kekuatan’ Raksasa Teknologi
123rf.com
Ilustrasi

Partner di firma hukum Han Kun, Ma Chen mengatakan bahwa otoritas khawatir perusahaan menjadi terlalu kuat, sehingga mempersulit korporasi lain berkembang. "Ini momen yang menentukan,” ujarnya dikutip dari Bloomberg, November lalu (10/11).

Sepengetahuannya, Alibaba selama ini membatasi mitra penjual atau merek (brand) menjual produk di platform lain. SAMR pun mengundang lebih dari 20 perusahaan digital, termasuk Alibaba dan Tencent pada tahun lalu.

Dalam pertemuan itu, SAMR meminta kedua raksasa teknologi itu berhenti mewajibkan penjual menandatangani perjanjian kerja sama eksklusif.

Selama ini, regulator menggunakan indikator seperti pendapatan atau pangsa pasar untuk menentukan apakah suatu perusahaan melakukan monopoli atau tidak. Namun, ini tidak berlaku bagi perusahaan digital yang mengontrol informasi berharga atau data yang belum dimonetisasi.

Di satu sisi, kapitalisasi pasar gabungan perusahaan digital di Tiongkok hampir US$ 2 triliun atau sekitar Rp 28.126 triliun. Khusus untuk Alibaba dan Tencent bahkan melampaui bank milik negara, seperti Bank of China.

Gambaran bisnis raksasa teknologi Tiongkok
Gambaran bisnis raksasa teknologi Tiongkok (Visual Capitalist)

Kini, Beijing juga mempertimbangkan pengenaan pajak digital kepada perusahaan teknologi yang memiliki data pengguna dalam jumlah besar. “Mereka seperti memegang tambang mineral yang berharga,” kata Kepala Biro Pengawasan Sains dan Teknologi di China Securities Regulatory Commission (CSRC) Yao Qian kepada Beijing News dikutip dari South China Morning Post (SCMP), Kamis (17/12).

Ia menilai, pemerintah harus mempelajari secara mendalam apakah pengenaan pajak kepada perusahaan digital sama dengan korporasi yang bergerak di bidang sumber daya alam.

Sedangkan Kepala Komisi Pengaturan Perbankan dan Asuransi China Guo Shuqing menyampaikan, data berkontributor besar terhadap perekonomian selayaknya tenaga kerja dan modal. “Raksasa teknologi memiliki kendali de facto atas data. Hak data dari berbagai pihak harus segera diklarifikasi. Selain itu, meningkatkan aliran data dan mekanisme penetapan harga," kata dia.

FTC AS juga mulai menyoroti penggunaan data oleh big tech yang diduga memicu monopoli. Komisi mengeluarkan perintah kepada sembilan perusahaan teknologi untuk melaporkan tentang bagaimana mereka mengumpulkan dan menggunakan data pengguna. 

Perusahaan yang dimaksud yakni pemilik TikTok, ByteDance, Amazon, Discord, Facebook dan anak usahanya, WhatsApp, Reddit, Snap, Twitter, dan YouTube milik Google. Mereka diwajibkan menyerahkan laporan dalam 45 hari.

CNBC Internasional melaporkan, FTC akan mengkaji tentang bagaimana raksasa teknologi menentukan iklan yang tampil di platform. Selain itu, untuk mencari tahu apakah algoritme atau analisis data digunakan pada informasi pribadi.

“Bagaimana mereka mengukur promosi, dan meneliti keterlibatan pengguna,” demikian tertulis pada pengumuman FTC, dikutip dari CNBC Internasional, Senin lalu (14/12). Selain itu, bagaimana praktik data memengaruhi konsumen anak-anak dan remaja.

Uni Eropa juga menyiapkan satu set aturan bernama Digital Markets Act (DMA) yang terdiri dari dua UU baru, salah satunya terkait monopoli. Komisaris Persaingan Eropa Margrethe Vestager mengatakan, regulasi ini bertujuan mengatasi perilaku raksasa teknologi yang bisa menutup akses pasar dan berkembangnya perusahaan kecil.

"Aturan itu untuk memastikan bahwa kami sebagai pengguna, memiliki akses ke berbagai pilihan produk dan layanan online yang aman," kata Margrethe dikutip dari Reuters, Selasa lalu (15/12). "Bisnis yang beroperasi di Eropa dapat dengan bebas dan adil bersaing secara online seperti yang mereka lakukan secara offline."

Sikap Indonesia terhadap Raksasa Teknologi

Selain negara maju, pemerintah di Asia Tenggara mulai mengantisipasi potensi monopoli oleh raksasa teknologi. Tech In Asia melaporkan, Singapura baru-baru ini mengusulkan perubahan UU data pribadi. Sedangkan Thailand mengambil tindakan hukum terhadap Facebook dan Twitter pada September lalu, karena mengabaikan permintaan untuk menghapus konten.

Terkait data, pemerintah Indonesia masih membahas Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi atau RUU PDP dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Beleid ini ditarget terbit pada awal tahun depan.

Sedangkan dari sisi layanan keuangan digital, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengantisipasi lima risiko yakni dari sisi regulasi, operasional, strategis, teknologi, dan data.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengamati perkembangan big tech, seperti Amazon dan Alibaba yang melebarkan sayap hingga masuk ke sektor keuangan. Transformasi ini dinilai menjadi tantangan bagi otoritas keuangan. "Isu risiko sistemik harus diantisipasi saat merespons disrupsi digital," ujar dia dalam acara virtual Indonesia Digital Conference yang digelar oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Selasa (15/12).

Sedangkan Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar menambahkan, risiko yang paling menjadi perhatian pemerintah yakni regulatory blind swap. “Selain yang baru, risiko (yang sudah ada) meningkat,” katanya dalam acara Fintech Summit 2019 di JCC, Jakarta, September tahun lalu (24/9/2019).

Hal itu karena model bisnis perusahaan teknologi terus berubah. “Regulator sebutnya unknown risk, karena model bisnisnya berubah terus. Jadi kami harus selalu berjaga-jaga. Intinya agile,” kata Batunanggar.

Selain itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah mengenakan pajak digital. Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dari enam perusahaan asing untuk periode Agustus bahkan mencapai Rp 97 miliar.

Keenamnya yakni Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte. Ltd, Google LLC, Google Ireland Ltd, Netflix International B.V, dan Spotify AB. Masih ada 30 perusahaan digital yang belum menyetorkan PPN.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...