Pajak Ekspor Batu Bara Dinilai Mampu Biayai Transisi Energi Indonesia

Muhamad Fajar Riyandanu
20 Mei 2022, 14:05
transisi energi, batu bara, pajak, harga batu bara, ekspor batu bara
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.
Melonjaknya harga batu bara dinilai dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak pajak dari sektor ini untuk membiayai proyek transisi energi.

Presiden Joko Widodo mengatakan kebutuhan pembiayaan untuk menuju energi baru dan terbarukan perlu mendapat dukungan negara maju untuk berkontribusi dalam pembiayaan hingga transfer teknologi.

"Perlu bekerja sama secara domestik, kerja sama secara global," kata Jokowi dalam World Economic Forum yang dihadiri secara daring dari Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (20/1).

Selain itu, Indonesia memerlukan pendanaan sebesar US$ 37 miliar atau sekitar Rp 530,58 triliun untuk sektor kehutanan, lahan, dan karbon laut. Untuk itu, RI perlu mendapatkan dukungan biaya yang tidak terlalu membebani masyarakat, negara, dan industri.

Pendanaan transisi energi yang berasal dari dalam negeri, terutama bank dirasa masih cukup sulit karena sejumlah lembaga masih kesulitan dalam menganalisis risiko dari proyek-proyek energi terbarukan yang mendukung upaya menurunkan emisi karbon.

Ketua Bidang Hukum Perbanas, Fransiska Oei, mengatakan, masih banyak tantangan yang dihadapi industri perbankan dalam mendorong pembiayaan hijau. Salah satunya adalah kesiapan masing-masing industri yang menunjang.

Menurutnya, bank mau saja mendukung program keuangan berkelanjutan, karena mereka tahu ini sesuatu yang positif. Walaupun tidak diwajibkan oleh regulasi, bank sebenarnya bersedia untuk mendukung transisi energi. Masalahnya, saat ingin membiayai sesuatu, bank harus memastikan bahwa nasabah dapat mengembalikan dananya.

Fransiska menyebut ada beberapa beberapa kendala yang dihadapi olah bank terkait proyek-proyek renewable energy. Pertama, rata-rata proyek memiliki kebutuhan pembiayaan dengan jangka waktu yang panjang (long term) yang tidak cocok dengan pendanaan.

Selanjutnya, kebanyakan proyek ini mahal atau nilainya besar. Jika proyek memiliki nilai besar, tentu bank akan mewaspadai apakah nasabah dapat mengembalikan dananya atau jangan sampai terjadi kredit macet.

"Misalnya geothermal, biaya proyek tinggi tetapi tidak pasti keadaannya. PLTA juga tidak stabil karena jika terjadi bencana alam, aliran sungai mungkin berubah. Kami juga belum memiliki data yang cukup, seperti letak aliran sungai yang baik untuk PLTA, atau lokasi potensi panas bumi. Jadi, sudah kreditnya mahal, butuh tenor lama, dan risikonya tinggi. Di sisi lain, debiturnya juga masih terbatas," ujarnya kepada Katadata.co.id beberapa waktu lalu.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...