Warisan Masalah Jokowi untuk Prabowo

Katadata/Andrey Rahman Tamatalo
Ilustrasi pelemahan ekonomi Indonesia.
Penulis: Rahayu Subekti
Editor: Sorta Tobing
14/8/2024, 13.24 WIB

Dalam riset terbarunya, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia atau LPEM FEB UI mencatat daya beli kelas menengah kini tergerus.

Peneliti makroekonomi dan pasar keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky mengatakan pada 2014 hingga 2018 terjadi ekspansi pada kategori calon kelas menengah dan kelas menengah. Pada periode ini kedua kelompok tersebut mengalami pertumbuhan. Di saat yang sama, proporsi populasi miskin dan rentan menurun. 

Perubahan terjadi pada 2018 hingga 2023 ketika ekspansi calon kelas menengah menurun. “Mengindikasikan adanya pergeseran dari individu yang sebelumnya merupakan kelas menengah ke calon kelas menengah atau bahkan rentan,” ujar Riefky pada 9 Agustus lalu. 

Indikasi lainnya, porsi belanja makanan terhadap total pengeluaran naik sejak tahun lalu. Kelas menengah mengalami peningkatan pengeluaran untuk makanan, dari 36,6% menjadi 41,3%. Mengacu pada Hukum Engel, ketika pendapatan naik, biaya untuk makanan akan berkurang, begitu pula sebaliknya. 

Peningkatan porsi pengeluaran untuk makanan atau penurunan konsumsi non-makanan dapat dijadikan indikator yang mengkhawatirkan. “Erosi daya beli ini mengkhawatirkan karena berdampak pada konsumsi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya. 

Penurunan daya beli juga terlihat dari data penjualan mobil. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, pada Januari hingga Juni 2024 penjualan wholesales (dari pabrik ke dealer) mobil nasional merosot 19,4% secara tahunan menjadi 506.427 unit.

Di tingkat retail (dari dealer ke konsumen) penjualan mobil nasional turun 14% secara tahunan dari 502.533 unit menjadi 431.987 unit. Apabila tren penurunan dua digit ini berlanjut, sektor otomotif akan terkena imbas, seperti empat sektor manufaktur lainnya. 

Butuh Investasi Besar untuk Dongkrak Ekonomi

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menilai pemerintahan Prabowo Subianto perlu memberikan investasi yang besar untuk menghadapi situasi ke depan.

Jika menarik ke belakang, Piter mengatakan pemerintah selama ini tidak mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Karena itu, pemerintahan Prabowo perlu menyelesaikan permasalahan inefisiensi ekonomi.

“Ini karena Indonesia tidak menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di dalam perekonomian kita. Perekonomian kita itu mengalami high cost economy sehingga tidak efisien,” ujar Piter.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintahan baru nantinya perlu menggenjot investasi dalam jumlah besar baik dari dalam maupun luar negeri. Sebab, pemerintahan saat ini dihadapkan dengan keringnya likuiditas dan dangkalnya sistem keuangan.

Caranya dengan memaksimalkan peran sistem keuangan dan perbankan. Selain itu, anomali sistem keuangan juga harus diperbaiki. "Seperti anomali suku bunga tinggi sehingga bank malas menyalurkan kredit. Hal-hal ini harusnya diselesaikan,” ujar Piter.

Antisipasi Pelemahan Ekonomi Dunia

Ekonom senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menekankan agar pemerintahan Prabowo mengantisipasi pelemahan ekonomi dunia baik dari sisi perdagangan, suku bunga, nilai tukar dan tantangan eksternal lain.

“Sehingga nantinya ada kebijakan adaptif mengantisipasi dari sisi perdagangan internasional yang perubahan kebijakan mendasarnya harus dilakukan,” kata Tauhid.

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menurut Tauhid, pemerintah perlu mengembalikan sektor industri menjadi sektor utama. Sebab, sektor industri memiliki multiplier effect ke sektor lain yang paling banyak dan besar.

“Ini bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Tapi butuh pimpinan yang mengerti soal bagaimana mengembalikan industri seperti negara lain,” ujar Tauhid.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga bisa didorong jika pemerintah melanjutkan sistem jaminan sosial untuk masyarakat kelas bawah. Menurut Tauhid, kebijakan ini bisa mendorong daya beli masyarakat agar tetap stabil.

Hal ini dibarengi dengan penyelesaian masalah terkait konsolidasi investasi. Tercatat realisasi investasi sepanjang Januari-Desember 2023 mencapai Rp 1.418,9 triliun atau naik 101,3% dari target yang ditetapkan Jokowi sebesar Rp 1.400 triliun.

Namun Tauhid menyayangkan, realisasi investasi yang besar tidak memberi dampak signifikan terhadap ekonomi. Karena pemerintah hanya fokus menggelontorkan investasi di sektor infrastruktur untuk kepentingan pasar, bukan masyarakat.

 

Halaman:
Reporter: Rahayu Subekti