Terapkan Perdagangan Karbon, Pemerintah Perlu Hapus Subsidi BBM

Image title
14 Mei 2021, 10:11
perdagangan karbon, subsidi bbm, emisi karbon, energi terbarukan
123RF.com/Elnur Amikishiyev
Perdagangan karbon.

Kemudian dapat mendorong transisi energi menuju sistem energi bersih sesuai dengan target Persetujuan Paris. Oleh karena itu pemerintah juga perlu mengatur mekanisme ini bagi individu atau perusahaan. Khususnya yang ingin membangun pembangkit energi terbarukan, untuk diperbolehkan mengklaim carbon credit.

"Karena carbon price bisa jadi insentif untuk pelaku usaha atau masyarakat. Pemerintah bisa juga membeli carbon offsetnya dan ini bisa membantu keekonomian pembangkit ET," kata dia.

Simak databoks berikut:

Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar menjelaskan bahwa dalam aturan perdagangan karbon disebutkan bahwa pelaku usaha yang memproduksi emisi karbon wajib untuk memenuhi batas atas emisi.

Jika pelaku usaha tidak memenuhi batas atas emisi tersebut, maka mereka harus melakukan mitigasi untuk menurunkan emisi karbon, salah satunya dengan membeli kredit karbon untuk meng-offset kewajiban tersebut.

Karbon kredit dihasilkan dari kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan oleh berbagai pelaku usaha, misalnya pengembang energi terbarukan, atau konservasi hutan. Namun yang menjadi penting dalam aturan itu adalah terkait dengan perizinan untuk pelaku kegiatan yang dapat menghasilkan kredit karbon.

"Karena pelaku usaha itu lah yang berinvestasi, maka hak atas kredit karbon itu seharusnya menjadi milik mereka. Tidak diambil oleh pihak lain," kata dia.

PEMANFAATAN TENAGA SURYA DI KAWASAN PERTANIAN
PEMANFAATAN TENAGA SURYA DI KAWASAN PERTANIAN (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/foc.)

Menurut Paul supaya selaras dengan penerbitan UU Cipta Kerja, perizinan untuk kegiatan yang menghasilkan kredit karbon sebaiknya dapat dipermudah. Misalnya melekat pada perizinan pada waktu mengurus perizinan lainnya.

"Kalau seseorang ingin membangun pembangkit energi terbarukan, maka secara otomatis sudah diperbolehkan untuk mengklaim kredit karbon, tanpa adanya perizinan tambahan," ujarnya.

Meski demikian, tantangan paling besar adalah dasar hukum penerapannya. Dalam undang-undang disebutkan bahwa kalau ingin melakukan pembatasan terhadap masyarakat maka pembatasan tersebut harus dilakukan melalui UU. "Nah, kurang tahu apa yang menjadi dasar hukumnya saat ini," katanya.

Paul mengatakan jika dasar hukumnya tidak jelas, maka kemungkinan besar kalau ada pembatasan yang menyebabkan denda, bisa jadi pelaku usaha yang dibatasi akan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung.

Selain itu, ia juga mempertanyakan sejauh mana penerimaan masyarakat atas pembatasan ini. Misalnya, jika ada pembatasan yang berdampak pada naiknya biaya operasi, misalnya PLTU batu bara, nantinya siapa yang akan membayar kenaikan biaya operasi tersebut.

"Apakah pengusaha PLTU batu bara, atau di-passthrough (teruskan) ke PLN? Dan kalau diteruskan ke PLN apakah akan menjadi tambahan subsidi pemerintah?," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...