Sebagian besar petinggi dan pegawai perusahaan teknologi di Amerika Serikat (AS) mendukung Joe Biden ketimbang Donald Trump. Di tengah perhitungan suara pun konflik Trump dengan korporasi media sosial, Twitter, berlanjut karena cuitan klaim kemenangan pemilihan presiden (pilpres).
Twitter menandai cuitan tersebut karena dianggap memberikan informasi yang tidak benar. Sebelumnya, perusahaan beberapa kali memberikan ‘sanksi’ atas unggahan Trump seperti terkait kerusuhan di Minneapolis hingga persoalan hak cipta.
Trump memang memotong pajak perusahaan, yang membantu raksasa teknologi meningkatkan keuntungan. Namun, ada beberapa kebijakan yang ditentang oleh Facebook, Google hingga Twitter.
Pada Mei lalu misalnya, calon presiden petahana itu menandatangani perintah eksekutif (executive order) setelah Twitter melakukan cek fakta atas cuitannya. Trump ingin mengubah pasal atau section 230 pada Undang-undang (UU) Keterbukaan Komunikasi yang mengatur tentang perlindungan bagi perusahaan media sosial dari tanggung jawab atas konten yang diunggah oleh penggunanya.
Kemudian, Trump menandatangani perintah eksekutif terkait pembatasan visa imigrasi untuk banyak kategori bagi pekerja asing pada Juli. Ini berlaku untuk visa H-1B bagi pegawai bidang khusus dan manajer perusahaan multinasional L-1, yang populer di kalangan raksasa teknologi AS.
Ia juga memberikan sanksi kepada beberapa perusahaan teknologi Tiongkok seperti Huawei, WeChat, dan induk TikTok, ByteDance. Ini dianggap menciptakan ketidakpastian bagi rantai pasokan.
Kini, warga AS termasuk jajaran perusahaan teknologi menantikan hasil pilpres yang akan menentukan arah kebijakan ke depan. Hingga saat ini, hasil perhitungan BBC menunjukkan Biden unggul sementara dengan 243 suara elektoral dan Trump 214. Adapun CNN melaporkan perhitungan suara dengan Biden unggul 253 suara elektoral meninggalkan Trump yang meraih 213 suara.
Profesor di Stanford Law School sekaligus Direktur Stanford Program in Law, Science and Technolog Mark Lemley menilai, Biden akan mengubah beberapa kebijakan Trump terkait teknologi jika menang. “Trump mengubah kedudukan AS di dunia (selama ini)," kata dia dikutip dari CNN Internasional, Kamis (5/11).
Pekerja Asing hingga Internet Perdesaan
Dari sisi imigrasi misalnya, Biden berjanji mengambil sikap yang lebih terbuka. "Secara historis, kebijakan yang lebih ramah imigran bermanfaat bagi raksasa teknologi," kata analis di DA Davidson Tom Forte.
Sedangkan terkait netralitas internet, Biden memiliki hubungan dekat dengan eksekutif Comcast, yang berharap adanya kebijakan ketat. "Tentang netralitas bersih, Biden sedikit mengkhawatirkan," kata wakil direktur organisasi akar rumput, Fight for the Future, Evan Greer dikutip dari CNET, September lalu (21/9).
Netralitas internet adalah prinsip bahwa penyedia layanan internet (ISP) harus memberikan hak setara bagi semua konsumen terkait konten legal, terlepas dari sumbernya. Artinya, ISP tidak bisa memblokir konten tertentu, mempercepat atau memperlambat pengiriman data.
Dari sisi internet perdesaan, Biden mengatakan bahwa broadband kecepatan tinggi sangat penting bagi perekonomian dewasa ini. Sebab, ini memungkinkan perusahaan di mana pun untuk tumbuh dan berkembang.
Terkait hal ini, Huawei seringkali menyatakan bahwa perusahaan telekomunikasi AS di perdesaan akan merugi US$ 1,84 miliar atau sekitar Rp 27,11 triliun jika tak lagi memakai teknologinya. Biden mengatakan akan menganggarkan US$ 20 miliar untuk pendanaan infrastruktur broadband perdesaan, tetapi tidak berkomentar perihal peran perusahaan Tiongkok itu.
Anti-monopoli
Meski didukung oleh banyak perusahaan teknologi, Partai Demokrat yang menyokong Biden, mendorong reformasi UU Anti-monopoli di sektor ini. Subkomite Kehakiman Kongres AS merilis laporan terkait dugaan praktik monopoli oleh raksasa teknologi. Laporan ini merupakan hasil penyelidikan selama 16 bulan.
Laporan itu memerinci praktik monopoli dan perilaku antikompetitif yang diduga dilakukan oleh Google, Apple, Facebook, dan Amazon. Keempat perusahaan dinilai menggunakan kekuatannya untuk mengekstraksi konsesi dan mendikte persyaratan kepada pesaing.
Subkomite mencontohkan, Apple mengenakan pungutan 30% atas setiap transaksi di toko aplikasinya, App Store. Lalu Amazon diduga melakukan monopoli pada penjual pihak ketiga di platform. Peran perusahaan sebagai penyedia dominan layanan komputasi awan (cloud) dan kekuatannya di pasar lain, dianggap menciptakan konflik kepentingan.
Kemudian, pemerintah AS menuduh Google menghancurkan persaingan untuk melindungi dan memperpanjang monopoli. Departemen Kehakiman AS mencari tahu apakah Google membelokkan hasil pencarian untuk mendukung produknya sendiri atau tidak selama 14 bulan.
Selain itu, Google diduga menggunakan kekuatannya atas akses ke pengguna untuk menutup persaingan. Perusahaan memang menguasai sekitar 90% pasar mesin pencarian di AS.
Sedangkan Facebook diduga memonopoli industri penyedia platform media sosial. Perusahaan mengakuisisi aplikasi media sosial, Instagram dan percakapan, WhatsApp.
Laporan itu juga menjelaskan bahwa raksasa teknologi secara agresif mempertahankan dominasinya melalui akuisisi, praktik antikompetitif, mengumpulkan data pengguna, dan memanfaatkan penguasaan pasar yang ada.
Keempatnya juga mulai berfokus pada pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di pasar negara berkembang. Ini dinilai bertujuan mengontrol perkembangan teknologi masa depan.
Kebijakan anti-monopoli tersebut akan berdampak pada banyak pasar, termasuk Indonesia. Google dan Amazon misalnya, menyediakan layanan cloud dan teknologi lainnya di Tanah Air. Jumlah pengguna Facebook dan media sosial di bawahnya yakni WhatsApp dan Instagram juga banyak.
Meski begitu, Biden mengatakan masih terlalu dini untuk berbicara tentang pembubaran perusahaan. Ia justru lebih condong pada regulasi yang mengekang kekuatan raksasa teknologi.
Selain itu, ia sepemikiran dengan lawannya, Trump untuk menghapus perlindungan bagi perusahaan media sosial pada section 230 UU Keterbukaan Komunikasi. “Harus segera dicabut,” kata Biden. “Menyebarkan kebohongan yang mereka ketahui palsu, dan kami harus menetapkan standar yang mirip dengan Eropa terkait privasi."
Meski begitu, raksasa teknologi justru tidak menganggap Biden sebagai ancaman. Padahal, mereka menentang keras Trump saat menyinggung section 230 melalui perintah eksekutif pada Mei lalu.
Salah satu sebabnya, para pelaku usaha Silicon Valley itu dekat dengan calon wakil presiden Biden, yakni Kamala Harris. Sebagai jaksa agung California, Harris tidak melakukan konsolidasi industri, bahkan ketika Facebook melahap pesaing yang lebih kecil.
Namun, Harris baru-baru ini menyerukan platform seperti Facebook dan Twitter untuk menindak misinformasi yang merajalela. Ia juga yang mendorong Twitter untuk menandai cuitan Trump soal kekerasan.
Perlindungan Data
Selama bertahun-tahun menjabat senator AS, Biden mensponsori regulasi yang memudahkan Biro Investigasi Federal atau FBI dan penegak hukum memantau komunikasi melalui internet, termasuk panggilan suara melalui IP dan lalu lintas (traffic) lainnya. Ia juga memperkenalkan UU Kontra-Terorisme Komprehensif dan Kontrol Kejahatan yang sangat anti-enkripsi, pada awal 1990-an.
Enkripsi diterapkan oleh sejumlah perusahaan teknologi seperti Facebook untuk mengamankan data pengguna, termasuk di Indonesia.
Meski begitu, Harris memuji CEO Facebook Mark Zuckerberg tentang penanganannya terhadap data konsumen skandal Cambridge Analytica pada 2018. Saat itu, jutaan informasi pengguna Facebook dijual kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan perusahaan.
Teknologi Tiongkok
Partai penyokong Biden, Demokrat mengkritik perang tarif Trump dengan Tiongkok, karena memengaruhi impor berbagai produk teknologi. Biden juga mengataan, negosiasi Trump merugikan warga Amerika.
“AS butuh aturan dan proses baru untuk mendikte hubungan perdagangan dengan negara asing,” kata Biden.
Banyak analis Wall Street memperkirakan, pemerintahan Biden akan mengambil sikap yang sedikit lebih lunak perihal teknologi dan kebijakan Tiongkok. “Itu bisa mengurangi risiko perusahaan teknologi AS kehilangan pelanggan di pasar utama Negeri Panda,” demikian isi laporan analis Wedbush Dan Ives dikutip dari CNN Internasional, Kamis (5/11).
Presiden Information Technology and Innovation Foundation (ITIF) Rob Atkinson pun mengatakan, banyak perusahaan teknologi AS yang tidak menyukai kebijakan Trump terkait Tiongkok. ITIF merupakan lembaga pemikir kebijakan publik yang berbasis di Washington.
"Pemerintahan Trump mempersulit mereka berurusan dengan Tiongkok,” kata Atkinson dikutip dari Nikkei Asian Review, akhir Oktober lalu (31/10). Selain itu, “ada beberapa balasan dari Beijing.”
Apple dan Google misalnya, menjadi incaran kebijakan ekspor Tiongkok. Padahal, The Economist mencatat bahwa konsumen Negeri Tirai Bambu menyumbang US$ 44 miliar terhadap penjualan produk Apple tahun lalu atau kurang dari seperlima pendapatan perusahaan di seluruh dunia.
Sektor semikonduktor AS juga kehilangan miliaran dolar karena Huawei masuk daftar hitam (blacklist) terkait perdagangan. Pembuat cip (chipset) seluler Broadcom misalnya, rugi US$ 2 miliar pada 2019. Nikkei Asia melaporkan, industri ini berpotensi buntung US$ 49 miliar jika pemisahan rantai pasok AS-Tiongkok berlanjut.
Akan tetapi, beberapa pelaku industri teknologi Tiongkok kurang optimistis bahwa Biden akan membalikkan keadaan. "Tren pemisahan tidak dapat dihentikan, karena kekuatan ekonomi Tiongkok meningkat dan mengancam kepemimpinan global AS," kata investor di perusahaan modal ventura yang berbasis di Shenzhen.
Ia menilai, perbedaan ideologi kedua negara menyebabkan kesalahpahaman dan ketidakpercayaan. Teknologi dan perusahaan Negeri Tembok Besar akan selalu dianggap memiliki hubungan dengan Beijing dan distigmatisasi. “Tak sepenuhnya diterima di AS, tidak peduli siapa presidennya,” kata dia.
Sedangkan profesor hubungan internasional di Universitas Bahasa dan Budaya Beijing Yu Wanli menilai, Biden setidaknya tidak emosional seperti Trump.
Hal senada disampaikan oleh pakar hubungan internasional Universitas Renmin di Beijing Shi Yinhong. “Demokrat tampak kurang militan. Mereka mungkin lebih berhati-hati untuk mencegah konflik militer yang terbatas dan memperhatikan komunikasi manajemen krisis dengan Tiongkok,” katanya dikutip dari Associated Press, Oktober lalu (23/10).
Wakil Presiden sekaligus Direktur Studi Tata Kelola di Brookings Institution, Darrell West sepakat bahwa Biden akan tetap keras terhadap Beijing. Meski begitu, “dia akan menciptakan lebih banyak proses untuk mengatasi masalah,” ujarnya dikutip dari Nikkei Asian Review.
Biden berjanji akan berinvestasi besar-besaran dalam teknologi baru di bawah agenda ekonomi "Beli produk Amerika". Ini termasuk US$ 300 miliar untuk kendaraan listrik, 5G hingga AI, yang sudah berkembang pesat di Tiongkok.
Selain itu, dua pertiga warga AS yang disurvei oleh Pew Research Center pada Maret lalu pun menyatakan ketidaksukaannya terhadap Tiongkok. Derek Scissors dari lembaga pemikir yang berbasis di Washington, American Enterprise Institute, menilai Biden akan mempertimbangkan pandangan masyarakat ini.