Kilas Balik Larangan Ekspor Nikel RI Hingga Digugat dan Kalah di WTO
Pemerintah resmi melarang ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020. Tujuan pemerintah yaitu meningkatkan nilai tambah nikel melalui hilirisasi. Apalagi tren penggunaan kendaraan listrik semakin meningkat di dunia, di mana nikel adalah bahan baku penting untuk memproduksi baterai .
Kebijakan ini kemudian digugat oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Dalam gugatan tersebut WTO menolak pembelaan Indonesia karena kebijakan tersebut melanggar sejumlah pasal dalam General Agreement on Trade and Tariff (GATT) 1994.
Panel WTO merekomendasikan agar Indonesia segera mengambil langkah-langkah sesuai dengan kewajibannya berdasarkan GATT 1994. Artinya, Indonesia diminta membatalkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel tersebut.
Kilas Balik Kebijakan Larangan Ekspor Nikel
Larangan ekspor mineral mentah merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam Pasal 103 tertulis, pengolahan dan pemurnian hasil tambang wajib dilakukan di dalam negeri.
Sesuai Pasal 170, proses pemurnian itu harus dilakukan selambat-lambatnya lima tahun setelah aturan tersebut diundangkan. Jadi, larangan ekspor ini bukan hal baru. Malah pelaksanaannya yang terlambat.
Pemerintah lalu mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Aturan ini kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Kriteria Peningkatan Nilai Tambah.
Kedua aturan itu mengamanatkan pembangunan smelter dilakukan paling lambat 2017. Perusahaan tambang mineral yang tidak bisa mengejar target tersebut dilarang mengekspor hasil tambangnya ke luar negeri. Tapi pada praktiknya target itu sulit tercapai.
Bahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ketika itu, Sudirman Said, merasa pesimistis pembangunan smelter bisa selesai pada 2017.
Perusahaan tambang ketika itu kesulitan mendapatkan modal untuk membangun smelter karena harga komoditas yang rendah. Akibatnya, dari 100 perusahaan yang berencana membangun smelter, hanya 6-7 perusahaan saja yang bisa mengoperasikannya pada 2017.
“Saya ingin katakan pemerintahan saat ini harus terima kenyataan bahwa pada 2017, tidak seluruh smelter (pembangunannya) akan selesai,” ujar dia di Gedung Minerba, Jakarta, pada 16 Februari 2016.
Hingga tenggat waktu aturan itu berlaku, yakni 12 Januari 2017, banyak perusahaan tambang, termasuk PT Freeport Indonesia, belum menyelesaikan pembangunan smelter. Freeport bahkan ketika itu meminta kepastian perpanjangan kontraknya yang akan habis pada 2021 agar investasi besarnya tidak mubazir.
Namun posisi pemerintah saat itu tidak menguntungkan dan dilematis. Banyak hal dalam turunan aturan UU Minerba yang tak sinkron. Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Peraturan itu berlaku satu hari menjelang berakhirnya masa izin ekspor. Di dalamnya tertulis kewajiban perusahaan pemegang kontrak karya (KK) untuk mengubah statusnya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) jika ingin mengekspor konsentrat.
Kesempatan ekspor diberikan selama lima tahun hingga pembangunan smelter rampung. Menteri ESDM Ignasius Jonan ketika itu mengatakan, jika dalam waktu lima tahun smelter tak rampung dibangun maka izin ekspor konsentrat akan dicabut.
Investasi Smelter dan Pabrik Baterai Kendaraan Listrik Mengalir Masuk
Setelah kebijakan larangan ekspor bijih nikel diterapkan, gugatan UE di WTO terus berjalan. Di sisi lain, investasi untuk pembangunan smelter hingga pabrik baterai kendaraan listrik terus mengalir masuk ke dalam negeri.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, ada 15 unit smelter nikel yang telah dibangun hingga November 2022. Pemerintah menargetkan ada 30 smelter nikel hingga 2024. Total investasi untuk proyek smelter ini mencapai US$ 8 miliar, namun hanya dalam enam bulan sejak larangan ekspor nikel berlaku, realisasinya telah mencapai US$ 6,3 miliar.
Selain itu ada juga investasi sejumlah perusahaan raksasa dunia untuk masuk dan mengembangkan ekosistem baterai dan kendaraan listrik terintegrasi yakni mulai dari penambangan nikel, lalu smelter, hingga pabrik baterai kendaraan listrik serta fasilitas daur ulang baterai.
Beberapa proyek yang telah berjalan di antaranya yaitu pabrik baterai kendaraan listrik di Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang, Jawa Tengah, oleh LG Energy Solution, dengan nilai investasi mencapai US$ 9,8 miliar atau sekitar Rp 152 triliun dengan kurs saat ini.
Proyek ini telah diresmikan Presiden Jokowi pada awal Juni 2022. Presiden menyebut investasi LG di Indonesia merupakan investasi pertama di dunia yang sudah terintegrasi mulai dari penambangan nikel, pembangunan smelter, prekursor pabrik katoda, hingga pabrik baterai dan mobil listrik.
“Masih ditambah lagi industri daur ulang baterai. Ini dari hulu sampai hilir, end to end, semuanya dikerjakan dalam investasi ini,” kata Jokowi dalam seremoni implementasi rencana tahap dua industri baterai listrik terintegrasi di KIT Batang, Rabu 8 Juni 2022.
Kemudian pada pertengahan September 2022, Jokowi melakukan grounbreaking pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik PT HKML Battery Indonesia di Karawang New Industry City (KNIC), Jawa Barat.
Nilai investasi pabrik ini mencapai US$ 1,1 miliar atau sekitar Rp 17 triliun dengan kapasitas produksi tahap awal 10 GWh yang akan ditingkatkan menjadi 30 GWh secara bertahap.
Groundbreaking ini merupakan tindak lanjut investasi LG Energy Solution di Indonesia di bidang industri baterai terintegrasi dari hulu hingga hilir dengan total investasi sebesar US$ 9,8 miliar.
Selain dengan LG, IBC juga menjalin kerja sama dengan Ningbo Contemporary Brunp Lygend (CBL), cucu usaha produsen baterai kendaraan listrik asal Cina, Contemporary Amperex Technology (CATL) untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik dengan investasi senilai US$ 5,97 miliar atau Rp 92,64 triliun dengan kurs saat ini.
Foxconn juga akan berinvestasi di Indonesia senilai US$ 8 miliar atau Rp 124 triliun untuk membangun industri baterai kendaraan listrik, industri kendaraan listrik, serta industri pendukungnya seperti charging station, penelitian dan pengembangan (R&D), serta melakukan pelatihan.
Lalu ada British Volt. Perusahaan asal Inggris ini berencana membangun industri baterai dan kendaraan listrik di Indonesia dengan investasi sebesar US$ 2 miliar atau sekitar Rp 31 triliun dengan kurs dolar saat ini.
Nilai Ekspor Nikel Melonjak Ratusan Persen Berkat Hilirisasi
Kebijakan pemerintah melarang ekspor nikel dan mendorong hilirisasi berbuah manis. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor nikel pada kuartal III 2022 mencapai US$4,13 miliar. Angka itu meroket 405,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 820 juta.
Nilai ekspor nikel mengalami lonjakan signifikan tak lama setelah larangan ekspor bijih nikel berlaku. Hasilnya mulai terlihat pada 2021 dengan nilai ekspor yang melonjak hingga 58,89% menjadi US$ 1,28 miliar dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar US$ 808,4 juta.
Sedangkan tahun ini, pemerintah menargetkan nilai ekspor nikel dapat mencapai US$ 27-30 miliar. "Menurut data perdagangan, kami akan menutup perdagangan nikel pada 2022 dengan nilai US$ 27 miliar sampai US$ 30 miliar," kata Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil dalam Indonesia Net Zero Summit 2022, Bali, Jumat (11/11).